Menghadapi
macetnya Jakarta tidak menjadi kendala kalau sudah terbiasa berdesak-desakan
mengantri untuk sampai tujuan. Meski terkadang mengambil hak pejalan kaki kita
gilas, sehingga sang pejalan kaki berteriak “dasar motor, ini hak saya kamu sudah
dikasih jalan lebar bermeter-meter sedangkan kami (pejalan kaki) hanya 1 ½ meter
kadang tidak cukup masih kurang saja” pasti gumamnya sang pejalan kaki seperti
itu atau mungkin lebih exstrim hingga mengeluarkan kata-kata kotor sambil mata
melotot. Kita tinggalkan kemacetan Jakarta, karena kemacetan jika diurai tidak
akan pernah selesai, ujung-ujungnya nanti menyalahkan pak Oga (tukang parker pertigaan
dan perempatan jalan).
Saya
ingin bercerita tentang keterbukaan saat ada disebuah toko, warung kopi, warung
makan dan tempat-tempat nongkrong lainnya dan bisa dipastikan kita tidak akan
terbuka dengan keadaan kita . Ini menarik dan pasti akan tertarik, kebiasaan
kita terbuka dengan keadaan kita hanya ada di teman dekat, lingkungan keluarga
kadang-kadang, dan keadaan terjepit. Saat ini saya dipengaruhi oleh tempat. Tempat
ini dulunya elit, perkumpulan para orang-orang besar, dan juga bisa
mengorbitkan orang-orang besar lainnya.
Ada
salah satu tokoh dulu terkenal dengan kesederhanaanya, mulai dari kalangan LSM,
Aktivis, pejabat, kyai, santri sudah pasti disegani. Hingga puncak karirnya
dinegeri ini menjadi Presiden sehingga ada sebutan –KYAI DI ISTANA RAKYAT- karena
kesederhanaanya dan dekat dengan rakyat. Kini beliau sudah tiada tapi masih
menjadi pembicaraan dan sering menjadi rujukan setiap pemikiran-pemikiran
beliau. Mulai pemikiran yang berkaitan dengan pemerintahan, gerakan-gerakan,
kebudayaan, dunia olah raga hingga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan
keagamaan dan sikapnya yang memilih sederhana meski sudah dimungkinkan untuk
bisa memanfaatkan keduniawiannya lewat pengakuan semua golongan dinegrinya
hingga tingkatan internasional. Mari kita tinggalkan beliau sejenak kalau
mengupas GUS DUR sudah jelas ilmu saya belum cukup, karena semua sector dalan
kasat mata beliau sudah bisa dipastikan akan mencairkan secara rasional dan
bisa dibenarkan secara akal dan dalal-dalil lainnya.
Sebenarnya
saya ingin cerita tentang perjalanan saya sore ini, tapi terus terpancing oleh
suasana lingkungan tempat dimana saya duduki saat ini.
Tepat
selesai adzan Ashar saya menuju kalibata untuk mengambil barang-barang senior
saya dkostan dibelakang makam pahlawan. Karena beliau sudah tidak mau balik
lagi ke Jakarta dan dapat tugas didapil, saya diminta tolong untuk mengemasi
semua barang-barang yang dikostannya untuk dipaketkan ke Lumajang. Saya meng
iyakan karena sudah ada ikatan senasib dan sepenanggungan dan juga saya sebagai
orang Jakarta Baru harus menjamu semua sahabat yang hadir ke Jakarta, heheheh. Dengan
kekurangan dan kelebihan yang saya punya, sungguh sore ini memang sedikit ada
kendala, HP mulai lowbet, tidak bawa casan, uang cuman bawa secukupnya beli
bubur kacang ijo, untuk numpang cash HP kalau bicara Jakarta tidak semuanya
gratis dan tergantung kemujuran nasib.
Sampai
dikost-kostan, pak kosnya tidak ada. Sempat ngubungi untuk melaporkan keadaan
itu bahwa pak kostannya lagi keluar. Sedangkan untuk menghubungi kelumajang
harus via HP, hanya sebentar bisa komunikasi dan sempat membaca SMS di HP,
tanda lowbet pun semakin terang. Tanggung jawab untuk menjemput istri sudah
waktunya, rasa kesal tidak kepalang, jika menunggu masih jam 4:15 sedangkan pak
kostan lagi kekeluar. Menurut info dari pihak penghuni rumah itu sehabis isya’
baru balik.
Pikir
saya meski ketemu dengan keadaan HP tidak berfungsi bagaimana cara
koordinasinya dengan senior yang ada di Lumajang, beliaunya juga belum punya
nomer tuan rumah tadi. Pusing tujuh keliling, mau balik belum tentu besok ada
kesempatan untuk datang ke kalibata. Melihat isi saku hanya terlihat Pangeran Antasari, Kapitan
Pattimura beberapa lembar dan ditambah bunga melati sendirian. Ini sudah jelas
tidak cukup untuk ngopi ditambah parkir yang tidak jelas tarifnya “ ada yang
tiga ribu dan ada juga parkir raja tega sambil melotot minta tambahan hingga 4
ribuan lebih” kalau saya punya kuasa saya congkel tuch mata melotot.
Dalam
kebimbangan ini saya tidak sengaja lewat tempat tadi saya lewatin, biasanya
kalau masuk kostan memang saya lewat jalan ini, pulangnya biasanya saya lewat
sebelah apartemant tampat warung KOPI PANCONG, tapi tidak mungkin saya mampir
kesitu, masuk saja sudah langsung dikasih kartu parkir dengan keadaan ditemanin
Kapitan Pattimura dan pangeran Antasari lagi pula saya tidak terlalu akrab
dengan pemiliknya sudah dipastikan tidak berani berkata terbuka lebih-lebih
berhutang hahahha.
Lain
lagi di JL. Kalibata timur 1 nomer 12, meski awalnya saya hanya mencari
refrensi mau cari mobil-mobil jadul, pengennya lihat-lihat sambil ingin
bermodus mencari-cari mobil biar bisa dapat ngecas gratis, sungguh diluar
dugaan bengkel mobil tua-tua itu sudah mau tutup terlihat dari para pekerja
sudah berkemas-kemas. Pikiran mulai kacau lagi, mau pulang dan balik besok
dalam pikir, tapi ingat balsan SMS tadi “ ok, g ditunggu ta” saya coba
berputar arah sambil melihat hp dengan tanda batrai merah dengan sinyal sudah
tidak bisa dihubungi apalagi menghubungi.
Ya…
jalan kalibata timur 1 nomer 12 ini membuat saya tertarik masuk, karena ada
tulisan NGOPI AJA KOK REPOT. Tidak tanggung-tanggung masuknya, tanpa permisi
asal parkir saja, saat menuju penjual kopinya, langsung melihat menu harga
kopinya kepalang kaget, takut uang tidak cukup saat melihat daftar harganya. Tanpa
rasa beban, saya menawar seakan tidak ada DOSA “ bisa beli harga yang 10 ribuan
tidak…” penjualnya sambil melirik dan bertanya kepemiliknya, sebelum
ada jawaban saya meneruskan tawaran “ atau saya beli separuhnya saja “
sambil menghitung uang dengan tambahan yang bergambar bunga melati. Syukur Alhamdulillah
setelah semua saku saya korek terkumpul sesuai dengan daftar menu. Saya pesan
itu kopi sesua daftar harga, dengan guyonan “ suatu saat kalau bisa kopi yang
harganya kelas-kelas kita ya hahhahah” sambil tertawa saya bisa minum
kopi JAVA RAUNG dari Flores.
Pelajaran
saya, keterbukaan itu akan terjadi bukan karena adanya kepepet tapi karena
tempat yang menggunakan jargon ketokohan seseorang dan orang yang ditokohkan
itu terkenal akan keterbukaannya, ngomong apa adanya, dan tidak pernah takut
kalau selama itu benar apa adanya. Dan juga tidak pernah menutup-nutupi meski
terkadang itu akan menjadi boomerang terhadap dirinya. Mungkin ini yang membuat
saya berani menawar harga kopi, bercanda beli separoh harga dengan konsekwensi
dapat seperuh kopi.
Sesungguhnya
keterbukaan ini ternyata lebih melegakan dan semua yang saya butuhkan terpenuhi
ditempat ini, saya bisa berlama-lama dengan harga itu, sisa uang masih ada
meski sebentar lagi apa akan ditarik parkir. Yang jelas keterbukaan itu akan
muncul jika tempat dan lingkungan itu sudah mengajarkannya meski lewat ketokohan
seseorang. Lebih-lebih keterbukaan itu bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mungkin tidak akan ada kepura-puraan terhadap diri sendiri dan
kepada sahabat-sahabatnya dalam menjalani kehidupan ini. Barakollah semoga kita
semua bisa belajar keterbukaan yang masih dalan taraf koridor yang ada. Meski meski
pikiran “ apakah pulangnya akan ditarik parkir hehehhe”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar