Senin, 02 Maret 2015

NGOPI AJA KOK REPOT


                Menghadapi macetnya Jakarta tidak menjadi kendala kalau sudah terbiasa berdesak-desakan mengantri untuk sampai tujuan. Meski terkadang mengambil hak pejalan kaki kita gilas, sehingga sang pejalan kaki berteriak “dasar motor, ini hak saya kamu sudah dikasih jalan lebar bermeter-meter sedangkan kami (pejalan kaki) hanya 1 ½ meter kadang tidak cukup masih kurang saja” pasti gumamnya sang pejalan kaki seperti itu atau mungkin lebih exstrim hingga mengeluarkan kata-kata kotor sambil mata melotot. Kita tinggalkan kemacetan Jakarta, karena kemacetan jika diurai tidak akan pernah selesai, ujung-ujungnya nanti menyalahkan pak Oga (tukang parker pertigaan dan perempatan jalan).


                Saya ingin bercerita tentang keterbukaan saat ada disebuah toko, warung kopi, warung makan dan tempat-tempat nongkrong lainnya dan bisa dipastikan kita tidak akan terbuka dengan keadaan kita . Ini menarik dan pasti akan tertarik, kebiasaan kita terbuka dengan keadaan kita hanya ada di teman dekat, lingkungan keluarga kadang-kadang, dan keadaan terjepit. Saat ini saya dipengaruhi oleh tempat. Tempat ini dulunya elit, perkumpulan para orang-orang besar, dan juga bisa mengorbitkan orang-orang besar lainnya.
                Ada salah satu tokoh dulu terkenal dengan kesederhanaanya, mulai dari kalangan LSM, Aktivis, pejabat, kyai, santri sudah pasti disegani. Hingga puncak karirnya dinegeri ini menjadi Presiden sehingga ada sebutan –KYAI DI ISTANA RAKYAT- karena kesederhanaanya dan dekat dengan rakyat. Kini beliau sudah tiada tapi masih menjadi pembicaraan dan sering menjadi rujukan setiap pemikiran-pemikiran beliau. Mulai pemikiran yang berkaitan dengan pemerintahan, gerakan-gerakan, kebudayaan, dunia olah raga hingga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan keagamaan dan sikapnya yang memilih sederhana meski sudah dimungkinkan untuk bisa memanfaatkan keduniawiannya lewat pengakuan semua golongan dinegrinya hingga tingkatan internasional. Mari kita tinggalkan beliau sejenak kalau mengupas GUS DUR sudah jelas ilmu saya belum cukup, karena semua sector dalan kasat mata beliau sudah bisa dipastikan akan mencairkan secara rasional dan bisa dibenarkan secara akal dan dalal-dalil lainnya.
                Sebenarnya saya ingin cerita tentang perjalanan saya sore ini, tapi terus terpancing oleh suasana lingkungan tempat dimana saya duduki saat ini.
                Tepat selesai adzan Ashar saya menuju kalibata untuk mengambil barang-barang senior saya dkostan dibelakang makam pahlawan. Karena beliau sudah tidak mau balik lagi ke Jakarta dan dapat tugas didapil, saya diminta tolong untuk mengemasi semua barang-barang yang dikostannya untuk dipaketkan ke Lumajang. Saya meng iyakan karena sudah ada ikatan senasib dan sepenanggungan dan juga saya sebagai orang Jakarta Baru harus menjamu semua sahabat yang hadir ke Jakarta, heheheh. Dengan kekurangan dan kelebihan yang saya punya, sungguh sore ini memang sedikit ada kendala, HP mulai lowbet, tidak bawa casan, uang cuman bawa secukupnya beli bubur kacang ijo, untuk numpang cash HP kalau bicara Jakarta tidak semuanya gratis dan tergantung kemujuran nasib.
                Sampai dikost-kostan, pak kosnya tidak ada. Sempat ngubungi untuk melaporkan keadaan itu bahwa pak kostannya lagi keluar. Sedangkan untuk menghubungi kelumajang harus via HP, hanya sebentar bisa komunikasi dan sempat membaca SMS di HP, tanda lowbet pun semakin terang. Tanggung jawab untuk menjemput istri sudah waktunya, rasa kesal tidak kepalang, jika menunggu masih jam 4:15 sedangkan pak kostan lagi kekeluar. Menurut info dari pihak penghuni rumah itu sehabis isya’ baru balik.
                Pikir saya meski ketemu dengan keadaan HP tidak berfungsi bagaimana cara koordinasinya dengan senior yang ada di Lumajang, beliaunya juga belum punya nomer tuan rumah tadi. Pusing tujuh keliling, mau balik belum tentu besok ada kesempatan untuk datang ke kalibata. Melihat isi  saku hanya terlihat Pangeran Antasari, Kapitan Pattimura beberapa lembar dan ditambah bunga melati sendirian. Ini sudah jelas tidak cukup untuk ngopi ditambah parkir yang tidak jelas tarifnya “ ada yang tiga ribu dan ada juga parkir raja tega sambil melotot minta tambahan hingga 4 ribuan lebih” kalau saya punya kuasa saya congkel tuch mata melotot.
                Dalam kebimbangan ini saya tidak sengaja lewat tempat tadi saya lewatin, biasanya kalau masuk kostan memang saya lewat jalan ini, pulangnya biasanya saya lewat sebelah apartemant tampat warung KOPI PANCONG, tapi tidak mungkin saya mampir kesitu, masuk saja sudah langsung dikasih kartu parkir dengan keadaan ditemanin Kapitan Pattimura dan pangeran Antasari lagi pula saya tidak terlalu akrab dengan pemiliknya sudah dipastikan tidak berani berkata terbuka lebih-lebih berhutang hahahha.
                Lain lagi di JL. Kalibata timur 1 nomer 12, meski awalnya saya hanya mencari refrensi mau cari mobil-mobil jadul, pengennya lihat-lihat sambil ingin bermodus mencari-cari mobil biar bisa dapat ngecas gratis, sungguh diluar dugaan bengkel mobil tua-tua itu sudah mau tutup terlihat dari para pekerja sudah berkemas-kemas. Pikiran mulai kacau lagi, mau pulang dan balik besok dalam pikir, tapi ingat balsan SMS tadi “ ok, g ditunggu ta” saya coba berputar arah sambil melihat hp dengan tanda batrai merah dengan sinyal sudah tidak bisa dihubungi apalagi menghubungi.
                Ya… jalan kalibata timur 1 nomer 12 ini membuat saya tertarik masuk, karena ada tulisan NGOPI AJA KOK REPOT. Tidak tanggung-tanggung masuknya, tanpa permisi asal parkir saja, saat menuju penjual kopinya, langsung melihat menu harga kopinya kepalang kaget, takut uang tidak cukup saat melihat daftar harganya. Tanpa rasa beban, saya menawar seakan tidak ada DOSA “ bisa beli harga yang 10 ribuan tidak…” penjualnya sambil melirik dan bertanya kepemiliknya, sebelum ada jawaban saya meneruskan tawaran “ atau saya beli separuhnya saja “ sambil menghitung uang dengan tambahan yang bergambar bunga melati. Syukur Alhamdulillah setelah semua saku saya korek terkumpul sesuai dengan daftar menu. Saya pesan itu kopi sesua daftar harga, dengan guyonan “ suatu saat kalau bisa kopi yang harganya kelas-kelas kita ya hahhahah” sambil tertawa saya bisa minum kopi JAVA RAUNG dari Flores.
                Pelajaran saya, keterbukaan itu akan terjadi bukan karena adanya kepepet tapi karena tempat yang menggunakan jargon ketokohan seseorang dan orang yang ditokohkan itu terkenal akan keterbukaannya, ngomong apa adanya, dan tidak pernah takut kalau selama itu benar apa adanya. Dan juga tidak pernah menutup-nutupi meski terkadang itu akan menjadi boomerang terhadap dirinya. Mungkin ini yang membuat saya berani menawar harga kopi, bercanda beli separoh harga dengan konsekwensi dapat seperuh kopi.
                Sesungguhnya keterbukaan ini ternyata lebih melegakan dan semua yang saya butuhkan terpenuhi ditempat ini, saya bisa berlama-lama dengan harga itu, sisa uang masih ada meski sebentar lagi apa akan ditarik parkir. Yang jelas keterbukaan itu akan muncul jika tempat dan lingkungan itu sudah mengajarkannya meski lewat ketokohan seseorang. Lebih-lebih keterbukaan itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin tidak akan ada kepura-puraan terhadap diri sendiri dan kepada sahabat-sahabatnya dalam menjalani kehidupan ini. Barakollah semoga kita semua bisa belajar keterbukaan yang masih dalan taraf koridor yang ada. Meski meski pikiran “ apakah pulangnya akan ditarik parkir hehehhe”

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar