Rabu, 11 Februari 2015

PENDATANG BARU


                Akhir bulan desember, januari,dan biasanya bulan februari puncak dari musim hujan tergantung maunya cuaca kapan. Tapi tahun-tahun ini musim hujan sudah tidak bisa diprediksi seperti tahun-tahun silam yang mana bulan itu menjadi patokan para petani untuk mengetahui musim tanam atau musim menanti. Cuaca sudah berubah seiring perkembangan jaman, sawah-sawah jadi perumahan, rawa-rawa jadi pabrik entah dari mana asalnya.

                Petani mengeluh sudah kehilangan tempat bertani, orang adat tanpa sertifikat bersengkata dengan para pejabat, cukong-cukong tanah memaiankan kepintarannya untuk merebut lahan yang sudah lama menjadi warisan dari nenek moyang mereka. Panser dihadapkan pada orang-orang yang bertelanjang dada, kulit hitam terlihat rusuk dadanya karena lamanya sudah bersatu dengan mentari dan tanah warisan itu. mereka melawan dengan kekuatan apa adanya meski harus menerima pukulan kayu berbentuk memanjang dari baju loreng gagahnya.yang konon juga digaji dari pajak bumi dan bangunan yang mereka setor pada pemerintahan tersebut. Pasukan berbaris beralih fungsi, tujuan awal dengan diadakannya perekrutan untuk melindungi rakyat jelata, kini menjadi kawan pengusaha untuk melawan rakyat jelata yang sudah bertahun-tahun di tanah warisan tidak bersertifikat itu.
                Semua harapan hilang, pekerja, buruh, pemangku ditempat itu kini menjadi tidak tetu arah. Diam tidak ada gunanya, melawan mapuslah sudah.retorika dan pembenaran atas nama undang-undang dasar dan hokum menjadi sambal nasi kerawang, bisa jadi nasi mawar. Pembenaran demi pembenaran akhirnya dimaklumi dengan hati sakit mencabik-cabik. Tunggu babak selanjutnya, mereka para pemangku dan rakyatnya mengalah, merka meyakini suatu saat akan ada balasannya atas kedzoliman itu kata mereka sambil megucurkan air mata. Melihat kawan lainnya yang sedang dirawat karena terkena bogeman benda bulat seperti pemukul bola kasti.
                Kini tanah-tanah itu sudah dipagar kawat, menganggur bertahun-tahun tidak ada yang menggarapnya. Sungguh tidak seimbang dengan cara perebutannya hingga harus mengeluarkan cucuran darah penghuni awalnya. “apa menunggu kita mati dulu baru lahan itu mau digarap atau menunggu anak cucu kita lupa kalau tnah itu salah satu warisan nenek moyang mereka” salah satu pemangku di seberang kata bertuliskan “ tanah ini milik PT. BBCC” mirip seperti perusahaan yang biasanya mendanai para calon-calon wakil rakyak. Hilang sudah impian-impian dikala masih punya sawah, punya kebon, punya rumah turun-temurun. Satu-persatu terpisah, ada yang pergi kesanak saudaranya, ada pula yang numpang pada tetangganya, yang pasti mereka akan merantau entah kemana sudah tidak ada urusan dengan rebut-ribut itu. Pungusaha tertawa puas, meski mungkin sedikit kecut didalam hatinya atau sudah hilang rasa dihatinya.
                Para pencari sesuap nasipun tidak terhindarkan akan lari kejakarta, mungkin dengan harapan ada lapangan kerja layak, paling tidak merubah nasib buruk yang dulu sudah buruk. Memilih Jakarta sudah pasti tidak semerta-merta mungkin karena lewat dari iklan TV Jakarta memberikan impian, atau cerita tetangga kalau Jakarta itu bisa menerima semua rizki yang ada, atau juga calo-calo pekerjaan yang memang disengaja diajak lalu dibiarkan terlantar diibu kota akhirnya pilihanlah yang menentukan nasib mereka.
                Kini Jakarta tidak seindah dulu, cerita-cerita iklan, cerita-cerita tetangga terjawab sudah. Bagi pekerja keras memang iya jadi orang diibu kota ini, bagi yang prustasi jadi pengangguran dan dinggap preman pasar oleh aparat setampat, dan yang sukses pun menjadi stress karena macet dan banjir menajdi mumuk tahuanan yang menakutkan. Kumpulan harta berbulan-bulan yang ditumbunnya dengan dibelikan barang-barang penambah status qua kini mulai terendam, bisnis yang dibangunnya bertahun-tahun kini akses terputus karena gelombang air tidak menampungnya. Perekonominan lumpuh hanya anak-anak kecil berwajah ceria mendorong mobil, motor dan bajai mogog ditengah genangan air. Dengan bangganya mereka mengatakan “ adanya banjir ini membuahkan berkah bagi saya dan bisa menambah uang jajan setelah air surut” dengan polos nak-anak itu berlontar.
                Meski begitu keadaan Jakarta tetap menjadi magnet yang semakin tahun semakin besar daya tariknya. Tidak luput sehabis lebaran idul fitri banyak orang berbondong-bondong mengadukan nasib untuk merubah keadaan didesanya. Begitulah impiannya, tapi mereka lupa kalau pendatang baru tanpa kemampuan memumpuni, tanpa garansi dari pengajaknya mereka akan tidur diemperan jalan, dibawah kolong jembatan yang lebih ektrim akan keluar dari norma-norma yang ada. Itu semua hanyalah pilihan hidup jika bisa mengendalikan dirinya mungkin akan seberuntung artis-artis diiklan tv, jika punya mental kuat mungkin akan seberuntung para politisi-politisi, atau jika punya imajinasi dan social kuat mungkin akan diangkat menjadi budayawan/sastrawan. Atau tidak akan mendapatkan semuanya mati dibawa arus banjir atau mati tergenang banjir.
                Entahlah menjadi pendatang baru tidak semuanya akan mendapatkan kehidupan baru seperti baju saat menjelang lebaran idul Fitri

Kota bamboo utara 10 februari 2015

Nur ilham

Tidak ada komentar:

Posting Komentar