Akhir
bulan desember, januari,dan biasanya bulan februari puncak dari musim hujan
tergantung maunya cuaca kapan. Tapi tahun-tahun ini musim hujan sudah tidak
bisa diprediksi seperti tahun-tahun silam yang mana bulan itu menjadi patokan
para petani untuk mengetahui musim tanam atau musim menanti. Cuaca sudah
berubah seiring perkembangan jaman, sawah-sawah jadi perumahan, rawa-rawa jadi
pabrik entah dari mana asalnya.
Petani
mengeluh sudah kehilangan tempat bertani, orang adat tanpa sertifikat
bersengkata dengan para pejabat, cukong-cukong tanah memaiankan kepintarannya
untuk merebut lahan yang sudah lama menjadi warisan dari nenek moyang mereka.
Panser dihadapkan pada orang-orang yang bertelanjang dada, kulit hitam terlihat
rusuk dadanya karena lamanya sudah bersatu dengan mentari dan tanah warisan
itu. mereka melawan dengan kekuatan apa adanya meski harus menerima pukulan
kayu berbentuk memanjang dari baju loreng gagahnya.yang konon juga digaji dari
pajak bumi dan bangunan yang mereka setor pada pemerintahan tersebut. Pasukan
berbaris beralih fungsi, tujuan awal dengan diadakannya perekrutan untuk
melindungi rakyat jelata, kini menjadi kawan pengusaha untuk melawan rakyat
jelata yang sudah bertahun-tahun di tanah warisan tidak bersertifikat itu.
Semua
harapan hilang, pekerja, buruh, pemangku ditempat itu kini menjadi tidak tetu
arah. Diam tidak ada gunanya, melawan mapuslah sudah.retorika dan pembenaran
atas nama undang-undang dasar dan hokum menjadi sambal nasi kerawang, bisa jadi
nasi mawar. Pembenaran demi pembenaran akhirnya dimaklumi dengan hati sakit
mencabik-cabik. Tunggu babak selanjutnya, mereka para pemangku dan rakyatnya
mengalah, merka meyakini suatu saat akan ada balasannya atas kedzoliman itu
kata mereka sambil megucurkan air mata. Melihat kawan lainnya yang sedang
dirawat karena terkena bogeman benda bulat seperti pemukul bola kasti.
Kini
tanah-tanah itu sudah dipagar kawat, menganggur bertahun-tahun tidak ada yang
menggarapnya. Sungguh tidak seimbang dengan cara perebutannya hingga harus
mengeluarkan cucuran darah penghuni awalnya. “apa menunggu kita mati dulu baru
lahan itu mau digarap atau menunggu anak cucu kita lupa kalau tnah itu salah
satu warisan nenek moyang mereka” salah satu pemangku di seberang kata
bertuliskan “ tanah ini milik PT. BBCC” mirip seperti perusahaan yang biasanya
mendanai para calon-calon wakil rakyak. Hilang sudah impian-impian dikala masih
punya sawah, punya kebon, punya rumah turun-temurun. Satu-persatu terpisah, ada
yang pergi kesanak saudaranya, ada pula yang numpang pada tetangganya, yang
pasti mereka akan merantau entah kemana sudah tidak ada urusan dengan
rebut-ribut itu. Pungusaha tertawa puas, meski mungkin sedikit kecut didalam
hatinya atau sudah hilang rasa dihatinya.
Para
pencari sesuap nasipun tidak terhindarkan akan lari kejakarta, mungkin dengan
harapan ada lapangan kerja layak, paling tidak merubah nasib buruk yang dulu
sudah buruk. Memilih Jakarta sudah pasti tidak semerta-merta mungkin karena
lewat dari iklan TV Jakarta memberikan impian, atau cerita tetangga kalau
Jakarta itu bisa menerima semua rizki yang ada, atau juga calo-calo pekerjaan
yang memang disengaja diajak lalu dibiarkan terlantar diibu kota akhirnya
pilihanlah yang menentukan nasib mereka.
Kini
Jakarta tidak seindah dulu, cerita-cerita iklan, cerita-cerita tetangga
terjawab sudah. Bagi pekerja keras memang iya jadi orang diibu kota ini, bagi
yang prustasi jadi pengangguran dan dinggap preman pasar oleh aparat setampat,
dan yang sukses pun menjadi stress karena macet dan banjir menajdi mumuk
tahuanan yang menakutkan. Kumpulan harta berbulan-bulan yang ditumbunnya dengan
dibelikan barang-barang penambah status qua kini mulai terendam, bisnis yang
dibangunnya bertahun-tahun kini akses terputus karena gelombang air tidak
menampungnya. Perekonominan lumpuh hanya anak-anak kecil berwajah ceria
mendorong mobil, motor dan bajai mogog ditengah genangan air. Dengan bangganya
mereka mengatakan “ adanya banjir ini membuahkan berkah bagi saya dan bisa
menambah uang jajan setelah air surut” dengan polos nak-anak itu berlontar.
Meski
begitu keadaan Jakarta tetap menjadi magnet yang semakin tahun semakin besar
daya tariknya. Tidak luput sehabis lebaran idul fitri banyak orang berbondong-bondong
mengadukan nasib untuk merubah keadaan didesanya. Begitulah impiannya, tapi
mereka lupa kalau pendatang baru tanpa kemampuan memumpuni, tanpa garansi dari
pengajaknya mereka akan tidur diemperan jalan, dibawah kolong jembatan yang
lebih ektrim akan keluar dari norma-norma yang ada. Itu semua hanyalah pilihan
hidup jika bisa mengendalikan dirinya mungkin akan seberuntung artis-artis
diiklan tv, jika punya mental kuat mungkin akan seberuntung para
politisi-politisi, atau jika punya imajinasi dan social kuat mungkin akan
diangkat menjadi budayawan/sastrawan. Atau tidak akan mendapatkan semuanya mati
dibawa arus banjir atau mati tergenang banjir.
Entahlah
menjadi pendatang baru tidak semuanya akan mendapatkan kehidupan baru seperti
baju saat menjelang lebaran idul Fitri
Kota bamboo utara 10
februari 2015
Nur ilham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar