Sejak tanggal 12 november sudah berdatangan para peserta muspim dari beberapa daerah ke markas besar PMII di Jl. Salemba tengah sana. Geliat antar pengikut dan pengawal untuk mengawal pelayaran menuju pulau Ambon semakin terasa, saling tunjuk dan asumsi dengan kondisi yang tidak pasti, ditambah keuangannya yang tidak jelas membuat jantungan orang yang ditunjuk mengawal. Sudah menjadi rahasia umum kalau dalam kapal semua serba moneter, harga tidak terbeli seperti lagu Iwan Fals. Bedanya ini ditengah laut, jadi tidak ada kritik yang signifikan seperti kemiskinan di di darat. Padahal harga harga sungguh mencekik sampel di tenggorokan paling dalam.
Masih dalam persiapan H pemberangkatan semua peserta didata untuk kepentingan tiket di Pelni. Umur dan no hp jadi andalan sebagai sub koordinasi selanjutnya. Pembagian tugas mulai mencair, ada yang lebih duluan ke pelabuhan untuk membeli tiket bagi peserta sesuai data. Semua itu demi kelancaran dan antisipasi agar tidak terjadi keributan persoalan ngantri mengantri untuk berebut tiket.
Sungguh memang dasarnya anak muda, tidak bisa diatur dan selalu mau ngatur. Dari itu beberapa pengalaman mungkin sudah pernah mengalami, tapi ya biasalah membuat kesel penanggung jawab salah satu hobi.
Semua teknis sudah disediakan tinggal melangkah sesuai dengan arahan penanggung jawab, tidak semua mau mengikuti. Yaa mungkin itu resiko penyelenggara, entah kenapa tuntutan sempurna untuk penanggung jawab lebih besar dibanding peserta. Padahal kesuksesan dan kegagalan saling ketergantungan. Sudahlah itu sebagai evaluasi meski sudah 55 tahun di pergerakan. Yaa itu umur organisasinya.
Mau pasrah salah, diam nyeselin. Intruksi saling mengingatkan salah satu kewajiban. Tapi tidak semua mau untuk diperlakukan sama. . . .
Jurus terakhir mengajak ngopi agar bersinergi, dengan modal pas pasan tidak bisa berbuat banyak dan bicara panjang kali lebar kalau tidak ingin mati seperti raja skak. Dari kelompok satu ke kelompok lainya, sungguh menguras energi agar saling memahami keadaan masing-masing. Diatas kapal ini sudah tidak penting level organisasi kecuali saling menjaga satu sama lain.
Ini menjadi penting agar tidak ada mis komunikasi semua yang kita paparkan. Seperti penjelasan diatas, tidak semua mau meski mengerti kondisinya. Tetap sebutan abang, sahabat dan ketua menjadi identitas kekuasaan. Siapa yang di panggil ketua siap-siap menjadi bemper, yang disebut abang juga siap siap untuk mengayomi, dan sahabat sahabat juga harus mengerti maksud yang tersirat bahwa kita adalah sama hanya waktunya dan siapa yang lebih awal dalam berproses.
Tetap saja Ini menjadi pekerjaan ruma masing masing agar kita belajar disiplin, ada waktunya jadi kepala, lain waktu bisa jadi ekor atau badannya. Sungguh hati ini selalu resah, dibiarkan nyesak didada, diakomodir menyanyat jantung. Akhir sadar dan bener kalau kita sudah dewasa, tidak perlu khawatir berlebihan dan jangan juga tidak memperhatikan karena semua ada resikonya. Kita belajar sportif agar tidak selalu jadi contoh buruk untuk generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar